Senin, 01 Juni 2015

SETAPAK JEJAK PUISI



Di Kamar


Pagi ini tak ada wangi Matahari
aku beredar di kamar semau saja
melebur bias-bias langit yang sesekali nyasar
ke mata, mengirim kabut beraroma lumut
dan do'a-do'a dari sihir hujan yang dibangkaikan
dongeng kampung pengantar tidur semalam

seorang perempuan, duhai...
bermuka Kolam Ratu, tampak ragu
memandang ke arah pintu.
Di luar rinai masih sisa, dingin bermain
dengan jendela, dan langit hitam mengendus
ke jantung


2009



Dengan Sitti

Dan kuputuskan tak berkata apa-apa tentang kepergian...
dan kutikamkan belati ke dalam ingatan pada yang datang...

Sitti, petang ini kembali aku diingatkan lagi pada sebuah kota
yang mengistimewakan raja-rajanya yang tak mau turun tahta
aku kenal betul, masih marah mataku sisa begadang semalam
ketika kita sama-sama dikejar hansip kompleks perumahan mewah,
setelah sebelumnya kita mengguyurkan kencing cokelat pekat di pagar
sebuah rumah di kompleks itu. Aku tahu, tak ada yang mencurigaiku
malam itu, tetapi hantu yang dari tadi terus nyangkut di kepangan rambutmu
tak henti-hentinya berceracau soal maling yang dihakimi massa
di malam sebelumnya

Begitu ganjil pertemuan kita, Sitti
kau masih tak banyak berubah saja
kelakar manja, sumbing senyum nakalmu,
yang kuakrabi seperti perempuan kafe di ujung
gang sebelah barat taman kota ini,
adalah segalanya yang paling kusembunyikan
hingga kini
Sampai sore ini..

Tapi Sitti, hantu ini seperti tak mau lepas dari paha putih
kaki jenjangmu. Hantu yang dulu pernah mengancam kepalaku
dengan ular-ular ratu medusa, yang kapan saja siap menyusupkan
bisanya yang mematikan. Darahku seketika pekat hitam...
Aku bingung, Sitti. Bingung yang teramat gelap menyelimuti
ketakutanku yang tiba-tiba harus selamanya menghuni tubuh kota
yang membuatku seketika lupa menanyakan,
ini malam sudah jam berapa!

aku terus jalan,
kamu lanjut mengalir di jalan gang,
di gorong-gorong dan selokan kotoran
pipa pembuangan dari kamar mandi rumah-rumah mewah.
Apa yang bisa kau tanyakan soal kebingunganku adalah
tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan keadaanmu.
Itulah sebabnya aku bersikap wajar seperti dulu pertama
kita bertemu

Sitti, kota ini terlalu memaksakan diri
berjaga di atas keistimewaannya,
tapi kau dan aku sama-sama percaya kalau
raja-raja di sini sudah tak lagi memiliki tahtanya,
seperti kita yang semakin kehilangan kuasa untuk menentangnya,
bahkan gagak dan burung hantu sekalipun, semua unsur dan
partikel ataupun atom-atom pembentuk tanah ini, tak akan
mampu menolaknya!

jadi sebaiknya, Sitti
kau tetaplah saja disini,
temani aku yang tak henti dikejar-kejar
hansip dekil yang dulu itu.
Kita relakan saja pertemuan kita dulu, janji manis
kita itu dan rengekan nakalmu yang terus merobek-robek
gendang telinga dan usus-ususku...
abadikan sekali saja foto kita, saat jembatan berkarat ini
terus tergerus oleh roda-roda dan sepatu high heels
keluaran Eropa..

aku tahu, Sitti
aku kenal betul apa yang kaupikirkan dulu

dan kuputuskan tak berkata apa-apa tentang kepergian...


2005



Mengaji Malin


Malin di masa kecilku adalah guru mengaji yang bisa mengurus surau juga.
Malin adalah orang alim yang ditangannya tumbuh buah anggur masak,
yang dapat dipetik oleh anak-anak yang suka mandi di kali bawah kakinya.
Malin suka membuat pantun, sesekali ia menikmati yang sudah ditulisnya itu
dan senang mendongengkan pada murid ngajinya jika sudah mengkatamkan
satu juz perumpamaan.

Tapi Malin, ia hanya suka kepada anggur yang tumbuh di lengannya saja,
ia tentu tak benar-benar paham dengan pantun dan dongeng itu,
sebab Malin kini sudah menjelma menjadi kursi sekolah, papan hitam,
busa penghapus dan kapur tulis yang ditanam dalam tumpukan
alas meja belajar wali kelas.

Ah Malin kini merasa ternoda.
Malin tak lagi menikmati aroma jahe dan bawang perai dari tungku dapur
sebelah rumahnya, dari surau kampung yang mengajarkan ia pandai mengalah.
Malin dan aku, selalu sepakat untuk sama-sama tidak menyebut satu ayat di kitab
agama apapun jika sudah membahas masalah anggur. sebab Tuhan tentu mengutuk
hamba Nya yang suka meminum anggur hingga mabuk berat.

sebab kami tahu malaikat tak akan sudi membawakan kami nasi bungkus sambal rinuk
ke suraunya lagi, pastinya kami tak akan bisa mendengar lagi suara orang mengaji
dari toa masa lampau yang selalu memberi air soda jika dahaga semakin mengapi.

Malin sudah menjadi api,
Malin dan aku kini terpaksa mengurai senyawa dari daging busuk
yang sudah fosil oleh rantai makanan yang mendaur ulang masa lalu
menjadi dunia modern ini


Maret 2015



Kolam


untuk istriku


Kata-kata berantakan dalam kolam ini, istriku
Kau mengerti, susunan bintang-bintang saling beradu
di tengah genang tenang riaknya. Kita mungkin akan
mengaji di dalamnya, meski ia hanya mengalirkan
sebuah saja permohonan kita.

malam ini dan malam-malam sebelumnya,
aku menerka-nerka sudah berapa banyak ikan-ikannya
bersarang di rambutku. Istriku, kemanakah usiaku yang lalu,
yang kuselesaikan untuk menebus rusukku yang tergadai padamu?
Kolam ini mengingatkanku pada sumpah yang tegas tanpa syarat,
tanpa harga yang menggenapkan pertemuan kita.

malam begitu lain saja. Adakah kamu menjelma dalam batukku
seperti obat generik di etalase apotek 24 jam itu? Aku berebut ruang
dengan kata-kata yang berserakan di kolam ini, tetapi maknanya terus saja
menusuk bagai jarum suntik di urat nadi

Kolam ini mengajarkan kita bercinta,
kawanan ikan-ikannya memberiku amanat purba
dan genang air nya, telah membawaku paling jauh
dalam sukmamu, membiarkanku jatuh untuk merapikan
kata-kata yang telah berantakan di rakaat-rakaat
yang kita tawarkan pada Tuhan

aku berusaha merawat itu, istriku
aku bergegas memasuki kolam ini,
agar sumpahku menghalalkan
segala caraku untuk mencintaimu..

Mencintaimu,
mencintai kolam itu..


2015